Mahkamah Agung (MA) sedang mengembangkan sebuah aplikasi yang menggunakan teknologi otomatis untuk memilih anggota majelis hakim dengan nama "Majelis Cerdas". Aplikasi ini direncanakan digunakan di semua pengadilan di Indonesia dan akan berlaku bagi persidangan di tingkat pertama serta tingkat banding. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah tindak pidana korupsi dari para hakim saat mereka menangani kasus hukum atau sering disebut juga pemberontakan peradilan.
"MA dengan cepat mengimplementasikan sistem perangkat lunak penentuan anggota panel Hakim yang otomatis (Smart Majelis) di Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding guna mengurangi risiko korupsi hukum," kata Jurubicara MA, Yanto, saat memberi keterangan pers di kantornya, Senin (14/4/2025).
Aplikasi Smart Majelis dibuat dengan tujuan utama mengurangi potensi korupsi. Ini merupakan langkah yang diambil Mahkamah Agung setelah keempat hakim serta seorang panitera muda dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait kasus suap penentuan putusan lepas dari perusahaan-perusahaan tersebut: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Empat hakim ikut serta dalam perkara rasuah ini meliputi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; bersama dengan majelis hakim yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Sementara itu, Wahyu Gunawan mengemban tugas sebagai Panitera Muda di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika itu.
Sebelumnya, Kejagung telah merinci urutan kejadiannya dalam skandal penentuan hukuman serta kasus suap yang melibatkan ketigah akun itu. Kasus ini dimulai saat Advokat Ariyanto mendekati Panitera Muda Wahyu Gunawan guna membantu dalam masalah perkara korupsi perusahaan minyak goreng, sambil memintanya supaya perkara tersebut dihentikan tanpa adanya hukuman setelah disediakan dana senilai Rp 20 miliar.
Wahyu selanjutnya menginformasikan penawaran tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu berperan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah mendengarkan permohonan ini, Arif setuju dengan tawaran tersebut namun ia bersikeras bahwa jumlah uang harus ditambah menjadi tiga kali lebih besar, yaitu sebesar Rp 60 miliar.
Ariyanto setuju untuk mengeluarkan dan mentransfer jumlah itu dalam bentuk dolar Amerika Serikat ke Wahyu Gunawan. Selanjutnya, Wahyu Gunawan akan menyampaikan uang tersebut kepada Arif. Sebagai balasan atas bantuannya, Wahyu mendapatkan komisi berupa 50.000 dolar AS dari Arif.
Berikutnya, Arif mengidentifikasi tiga panel hakim yang akan bertanggung jawab atas kasus ini, yaitu Djuyamto sebagai kepala panel, Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota, serta Ali Muhtarom sebagai hakim tamu. Sesudah instrumen persidangan dicetak, Arif meminta Djuyamto dan Agam datang guna menerima pembayaran sebesar 4,5 miliar Rupiah berupa mata uang Dolar Amerika Serikat.
Uang tersebut kemudian oleh Djuyatmo dibagikan kepada Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Beberapa waktu setelahnya, Arif kembali menyerahkan uang dalam bentuk dolar kepada Djuyamto, yang bila dikonversi ke rupiah bernilai sekitar Rp18 miliar. Djuyamto lalu membagikan uang tersebut kepada Agam dan Ali. Bila dirupiahkan, uang untuk Agam Syarif Baharuddin sebesar Rp4,5 miliar dan untuk Ali Muhtarom sebesar Rp5 miliar.
Ketiganya memahami maksud menerima dana untuk menjatuhkan vonis onslag dalam kasus tersebut, yang jelas terlihat saat pengadilan korporasi minyak goreng dijadwalkan putusan ontslag pada 19 Maret 2025," ungkap Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, seperti dikutip pernyataannya pada hari Rabu (16/4/2025).
Pemberian status tersangka kepada empat hakim dalam kasus pembelian vonis untuk penyidikan korupsi minyak goreng ini mencerminkan adanya kerusakan dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, implementasi usaha reformasi yang dilakukan Mahkamah Agung melalui penerapan majelis hakim otomatis (Smart Majelis) di Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding berharap bisa mengurangi risiko korupsi hukum muncul lagi di masa depan.
Lebih Fair dan Transparan
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi tidak mengabaikan kemungkinan bahwa teknologi dapat memfasilitasi proses seleksi hakim Mahkamah Agung (MA) agar menjadi lebih adil dan terbuka. Hal tersebut tentunya perlu disinkronkan dengan berbagai faktor seperti latar belakang pendidikan, jenis kasus yang telah diproses sebelumnya, serta rekam jejak etis mereka.Namun, menurutnya, dalam berbagai aplikasi teknologi, keterlibatan manusia untuk melakukan intervensi masih tidak bisa dielakkan. Sebagai contoh, pada proses pelelangan digital, walaupun menggunakan teknologi, pemenang lelang mungkin telah terprediksi sejak penyusunan Rancangan Kerangka Tugas seperti itu. Hal serupa juga berlaku ketika memilih hakim Mahkamah Agung.
"Oleh karena itu, meskipun jumlah ruangan terbatas dan tersebar di beberapa area, mungkin saja hakim-hakim yang semestinya tidak harus mengurusi perkara tertentu akibat berbagai alasan masih dapat melanjutkan penanganan kasus tersebut," paparnya saat ditemui oleh Tirto, pada hari Rabu (16/4/2025).
Menurutnya, sering kali bukan pada tahap pendefinisian oleh para hakim bahwa hal tersebut terjadi. Namun, setiap hakim yang dicoba dipengaruhi ketika membuat keputusan. Pada dasarnya, masalah ini berkaitan dengan etika, moralitas, integritas, penerapan hukum serta kesetaraan.
"Maka selain mengembangkan teknologinya, perlu diperbaiki juga aspek moral, etika, dan kejujuran dari wakil-wakil Tuhan di dunia itu," tegasnya.
Akar Masalah Belum Tersentuh
Herdiansyah Hamzah dari SAKSI FH Universitas Mulawarman menyampaikan bahwa penerapan teknologi robotik pada seleksi majelis hakim hanya akan mendukung metode pemilihan acak. Hal ini bertujuan untuk mencegah hubungan dan bias dalam penunjukan hakim terkait dengan perkara yang diajukan ke pengadilan.Namun perlu ditekankan, para pengguna teknologi robotika tidak mampu merespons pertanyaan tentang integritas hakim. Meskipun demikian, hal tersebut tetap dapat memberikan kontribusi namun sangat terbatas," penjelasannya kepada Tirto, pada hari Rabu (16/4/2025).
MA harus terus berkonsentrasi pada metode untuk menciptakan hakim-hakim yang memiliki integritas cukup tinggi. Menurut dia, hal tersebut tak dapat diatasi hanya dengan bantuan robot ataupun teknologi manapun.
MA juga dapat mengawali upaya untuk memutus mata rantai suap-menyuap yang melanda jajaran peradilan, merata dari awal hingga akhir prosesnya.
"Oleh karena itu, struktur sistem yang perlu kita implementasikan untuk mengatasi masalah yang kita sebut sebagai korupsi pengadilan harus mencakup kedua tahapan awal dan akhir," jelasnya.
Ini dapat diawali dengan mekanisme pemilihan para hakim, memastikan catatan mereka benar-benar bersih dan terpercaya. Proses pengawasan harus mencakup kedua aspek internal maupun eksternal, bahkan melibatkan partisipasi masyarakat umum. Di tingkat penyelesaian masalah, diperlukan hukuman keras bagi hakim yang melakukan pelanggaran agar menjadi peringatan serius bagi orang lain.
"Oleh karena itu, teknologi robotika sekali lagi tidak dapat menjawab pertanyaan tentang integritas para hakim. Kami belum memiliki rancangan untuk hal tersebut. Namun, jika teknologi robotika ingin digunakan dalam pemilihan anggota majelis hakim agar mencegah intervensi dari hakim-hakim, pengaturan kasus-kasus secara tidak adil dan masalah-masalah serupa lainnya, maka saya mendukung ide tersebut. Tetapi, ini tetap tidak akan mencukupi untuk mengatasi korupsi di lingkungan peradilan," demikian katanya.
Orin Gusta Andini, Ketua Pusat SAKSI di Universitas Mulawarman, menyetujui bahwa salah satu cara untuk meningkatkan sistem peradilan dapat dilakukan dengan fokus pada aspek dasar seperti peningkatan mutu tenaga kerja serta melakukan reformasi institusi.
Menurut dia, Majelis Agung harus memperbaiki segala sesuatunya mulai dari atasan sampai ke struktur bawahan. Dia juga mengatakan bahwa penilaian mendalam tentang proses seleksi Hakim sangat penting untuk dilaksanakan. Alasannya adalah karena sistem pengangkatan yang berlaku sekarang diyakininya belum cukup efektif dalam mencari kandidat-kandidat Hakim yang sungguh-sungguh berkualifikasi dan bertekun pada nilai-nilainya.
"Bila diperhatikan proses rekruitmen hakim pada masa kini, hal tersebut juga tak berbeda dari pegawai negeri sipil umumnya. Namun, dalam pandangan saya, untuk kalangan penegak hukum, faktor psikologi dan integritas sebenarnya harus menjadi prioritas utama sebelum seseorang diangkat sebagai hakim," ungkap Orin kepada Tirto, Rabu (16/4/2025).