33 Perusahaan HTI di 11 Propinsi Dilanjutkan Kerusakan Hutan Selama 7 Tahun Terakhir

adm
0

kodekarir.com , Jakarta - Perusahaan Hutan Tanaman Industri ( HTI ) secara continue merusak hutan serta bertengkar dengan komunitas asli dalam area perusahaan tanpa usaha sungguh-sunguh untuk memecahkan masalah tersebut. Selain itu, mereka juga tidak peduli tentang adanya regulasi European Union Deforestation Regulation ( EUDR ) yang muncul karena permintaan pasaran sebagai bagian dari program perubahan iklim.

Laporan terkini dari Koalisi Masyarakat Sipil 11 Propinsi menunjukkan bahwa situasinya masih sama seperti dalam laporannya tahun 2022. Hasil pengawasan lapangan tentang tuduhan penyalahgunaan oleh 33 perusahaan HTI di 11 propinsi itu telah dikirimkan kepada Kementerian Kehutan pada hari ini, Kamis, 17 April 2025.

Wakil Koordinator Jikalahari Riau Datuk Aldo menyatakan bahwa 33 perusahaan HTI yang tercantum dalam laporannya menyebar di berbagai daerah seperti Riau, Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, hingga Papua. Pengawasan lapangan akan dilaksanakan dari bulan Desember 2023 sampai Maret 2025.

Aldo menambahkan bahwa pengawasan tersebut adalah lanjutan dari laporan koalisi yang sudah dimulai sejak 2018. Selama tujuh tahun terakhir, koalisi telah mengadakan pantuan di lapangan pada total 122 perusahaan, termasuk 109 perusahaan HTI serta 13 perusahaan kelapa sawit. Menurut Aldo, "Perusahaan HTI terus-menerus merusak hutan dan berselisih dengan masyarakat asli dan lokal." Tempo .

Pada tahun 2022 sebelumnya, koalisi secara langsung menyerahkan laporannya tentang pengawasan di lapangan terhadap perusahaan HTI dan kelapa sawit ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. Menurut Aldo, saat itu Menteri Siti mengusulkan untuk bekerja sama melalui pembentukan Tim Kerja Pendukung Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria, Metode Pelaksanaan Undang-Undang, serta Pengembangan Kebijakan Manajemen Kehutanan dan LHK. Meski demikian, Aldo menjelaskan bahwa performa dari tim tersebut belum mencapai tingkat efektivitas yang ideal.

Dalam laporan terakhirnya, Aldo menyatakan, ringkasan hasil dari Koalisi Masyarakat Sipil di 11 provinsi mengungkap bahwa performa korporasi HTI tidak memperhatikan aturan tentang pelindungan dan revitalisasi ekosistem rawa Gambut. Tidak adanya komitmen untuk NDPE—yang berarti tanpa penebangan hutan, tanah gambut, maupun pelecehan—dan juga telah melanggar janji mereka sendiri akan kebijakan yang ramah lingkungan.

Oleh karena itu, deforestasi tetap terjadi baik di dalam maupun di luar area kon sesi. Bahkan api kembali muncul pada zona perusahaan yang bertugas melindungi ekosistem rawa gambut. Di samping itu, ada pula aktivitas pengubahan lahan serta tanam pohon akasia di wilayah Zona Lindungan Ekositem Gambut dan juga Area Prioritas Restorasi BRG.

"Tiada usaha restorasi lahan gambut (صندVMLINUX rewetting , revegetation Dan pembaruan sumber daya hidup lokal masyarakat sekitar) yang dikerjakan oleh perusahaan di area prioritas rehabilitasi. Bahkan ada penanaman akasia di luar batas konsesi," jelas Aldo.

Menurut Aldo, koalisi percaya bahwa laporan dari pengawasan lapangan yang dilakukan di 11 propinsi tersebut bisa membantu Kementerian Kehutanan dalam memberikan sanksi kepada para pelaku pencemaran, kerusakan lingkungan, dan kebakaran hutan. Selanjutnya, mereka berencana melakukan audit terhadap izin usaha perhutanan tanam ulang oleh korporasi dan juga ingin mencari solusi atas konflik-konflik sesuai dengan tujuan-tujuan pemerintah presiden Prabowo Subianto sekarang.

"Koalisi berharap agar Kementerian Kehutanan menekan pemerintah untuk mengulas Peraturan Pemerintahan Nomor 23 Tahun 2021, terkait dengan durasi izin PBPH (Pemanfaatan Hasil Hutan Untuk Usaha) yang bisa mencapai hingga 180 tahun," ungkap Aldo. Di samping itu, Koalisi juga mendesak agar Kementerian Kehutanan secepatnya me- review izin usaha yang menyalahi aturan tentang pelestarian dan revitalisasi ekosistem rawa gambut, tidak memenuhi janji NDPE, sekaligus mengakibatkankebakaran hutan dan lahan, serta menduduki hutan yang menjadi hak ulayat bagi masyarakat adat dan lokal.

Di samping Jikakahri, Koalisi Masyarakat Sipil dari 11 Provinsi ini melibatkan organisasi seperti Walhi Riau, Grup Penelitian Pembangunan dan Inisiatif Masyarakat Sumatra Utara, Yayasam Citra Mandiri Mentawai yang berbasis di Sumatera Barat, Walhi Jambi, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Green of Borneo Kalimantan Utara, Walhi Kalimantan Barat, Pontianak Institute juga berasal dari Kalimantan Barat, serta Walhi untuk wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantar Timur hingga ke Papua.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)