Seorang arkeolog asal Inggris bernama Thomas Edward Lawrence, dikenal juga sebagai pahlawan pergerakan kemerdekaan dengan ikonik syalnya, ternyata telah memberikan inspirasi bagi berbagai macam film, salah satunya adalah sebuah film biografi berjudul Lawrence of Arabia (1962) yang mendapat pujian dari para kritikus. Film tersebut diperankan oleh Peter O'Toole. Setelah bergabung dengan pemberontak Arab menentang kekuatan Turki Ottoman, Lawrence, yang populer disebut sebagai "Lawrence of Arabia" (Lawrence dari Arabia), merupakan sosok yang lancar berbahasa dalam 7 negara berbeda.
Lawrence of Arabia adalah seorang ahli arkeologi serta penerbang pesawat tempur, pejabat inteligen, duta besar, dan pakar dalam bidang strategi militer. Kemampuannya diakui sangat istimewa; namun demikian, kehidupan pribadinya tidak lepas dari debatan. Selain itu, dia menulis memoarnya sendiri dengan judul Tujuh Tiang Kebijaksanaan (1926), menjadi buku best seller Dan menjadikan judul Lawrence of Arabia populer secara global. Sementara itu, aspek negatifnya dia sembunyikan dengan baik hingga akhir hayatnya ketika meninggal dalam suatu kecelakaan sepeda motor di usia 46 tahun.
Walaupun Lawrence of Arabia gemar bertualang, Lawrence enggan mencari ketenaran. Karena itu, saat diberi tawaran gelar kesatria serta penghargaan Victoria Cross atas keberanian dirinya menghadapi lawan, Lawrence menolakkannya. Dia lebih memilih mendaftar dalam Angkatan Udara Kerajaan sebagai prajurit biasa menggunakan nama palsu.
Akan tetapi, Lawrence of Arabia yang dikenal sebagai seorang petarung berani, hanya merupakan sekilas kisah tentang kehidupan sang tokoh. Di luar itu, ada banyak aspek kelam dan tragis yang juga pernah mempengaruhi jalannya hidupnya. Apa saja hal tersebut?
1. Ketika masih anak-anak, Lawrence of Arabia kerap mengalami perlakuan keras dari sang ibu.

Bapak Thomas Edward Lawrence (dikenal juga sebagai Lawrence of Arabia) merupakan seorang bangsawan asal Irlandia yang bernama Thomas Chapman. Akan tetapi, bapaknya pernah berkeluarga dan kemudian meninggalkan istrinya beserta kedua putra mereka karena berselingkung dengan pengasih anaknya dari Skotlandia bernama Sarah Junner. Setelah itu, sang ayah dan Sarah Junner mengambil nama belakang Lawrence dan tinggal bersama menggunakan identitas tersebut layaknya pasangan suami-istri. Dari hubungan ini kelima orang anak lelaki dilahirkan termasuk Thomas Edward Lawrence yang hadir ke dunia pada tanggal 16 Agustus 1888 di Wales.
Selanjutnya, keluarganya berpindah ke Oxford, Inggris. Thomas Edward Lawrence berkembang menjadi seorang bocah lelaki dengan rasa ingin tahunya yang besar serta otak yang sangat cemerlang. Akan tetapi, tampaknya ia mengalami masa kanak-kanak yang kurang menyenangkan.
Sarah Lawrence (ibu Thomas Edward Lawrence), seorang ibu yang terkenal akan pendekatan disipliner dan rinciannya, cenderung menggunakan metode hukuman dalam mendidik anak-anaknya. Meski begitu, Sarah adalah seseorang yang beriman sebagai Kristen setia namun tak bisa mentolerir fakta bahwa dirinya dan Thomas Chapman belum menikah secara sah. Karena hal tersebut pula, sering kali emosi negatifnya dialihkan menjadi bentuk ketidaksukaan pada putranya itu.
Meskipun alasan di balik itu semua, saudara kandung terakhir Thomas Edward Lawrence, yaitu Arnold, mengatakan bahwa masa kanak-kanak mereka cukup sulit dikarenakan sering menerima perlakuan kasar dari sang ibu. Akan tetapi, Sarah memiliki keyakinan kuat pada Thomas Edward Lawrence. Sehingga hal ini membuat Lawrence tak kunjung merasa puas; ia tidak pernah berpuas diri atas pencapaiannya yang cemerlang dan bersumpah akan selalu mencari kesempurnaan. Pada akhirnya, Lawrence meninggalkan tempat tinggal keluarga tersebut dan lebih memilih hidup mandiri.
2. Lawrence of Arabia kehilangan dua saudaranya yang berdarah daging akibat perang di Perang Dunia I.

Thomas Edward Lawrence merupakan putra kedua dari kelima saudaranya yang dilahirkan oleh sepasang suami istri yaitu Thomas Chapman dan Sarah Junner. Walau demikian, orang tuanya tersebut tidak melakukan pernikahan formal di gereja atau institusi terkait; hal ini membuat masa kanak-kanannya kurang stabil. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam artikel tersebut, situasi semacam itu ternyata mencerminkan banyak pengalaman hidupnya. Historynet , Thomas Edward Lawrence mampu unggul sebagai seorang mahasiswa. Dia sempat melanjutkan studinya di Universitas Oxford dengan fokus pada bidang sejarah. Di sinilah dia menyusun disertasinya tentang benteng-benteng milik tentara salibi.
Saat pecahnya Perang Dunia I, Thomas Edward Lawrence tengah sibuk dengan kegiatan penggaliannya di Suriah. Akan tetapi, militer Britania Raya kemudian mempercayakan padanya tugas kerja di bagian penyusunan peta di Cairo, Mesir. Tempat tersebut membuat nama Lawrence dikenal karena dia terbukti jenius serta memiliki wawasan yang sangat luas.
Meskipun demikian, berkarir di ruangan tak menggairahkan Thomas Edward Lawrence yang memiliki semangat petualangan. Dia bercita-cita menjalani pengalaman lebih luas, apalagi usai kedua saudara laki-lakinya, yaitu Will dan Frank, gugur saat bertempur di barisan Depan Barat. Pengorbanan Will dan Frank merupakan dorongan besar baginya untuk ikut serta dalam Pemberontakan Arab melawan tentara Turki tahun 1916.
Dia merasa begitu berkewajiban karena kedua saudara kandungnya dengan rela menyerahkan nyawa untuk mencapai kebebasan dan berharap ikut tercatat dalam sejarah, bukannya hanya sebagai penonton. Dengan menjadi asisten dekat Pangeran Emir Faisal (yang kelak akan dikenal sebagai Faisal I dari Irak), Lawrence dapat meraup apa pun yang dia inginkan serta jauh lebih banyak lagi.
3. Lawrence dari Arabia menyusun memoir dan meraih popularitas

Tahun 1916, penduduk Arab di kawasan Hejaz—sekarang bagian dari Arab Saudi—melawan penindasan yang diberlakukan oleh Kekaisaran Ottoman. Sementara itu, Kekaisaran Ottoman mendukung Jerman dalam hal ini. Oleh karena itu, Inggris berpihak pada para pemimpin Arab tersebut dengan mengutus Thomas Edward Lawrence ke daerah konflik sebagai perwira penghubung untuk Pangeran Faisal, anak Sultan Hussein dari Mekkah.
Dikutip Christian Science Monitor Thomas Edward Lawrence bergabung dengan masyarakat Arab. Dia merubah penampilannya dengan menggunakan jubah dan syal kepala keffiyeh yang merupakan ciri dari wilayah Timur Tengah guna memimpin kelompok pemberontak tersebut. Ia juga menyusun serangkaian strategi perang gerilya.
Sebaliknya, keberanian Thomas Edward Lawrence dalam pertempuran berhasil menyita perhatian seorang wartawan asal Amerika bernama Lowell Thomas. Lowell mengabadikan aktivitas Thomas Edward Lawrence saat berada di kamp Faisal I dan kemudian merilis dokumenter tersebut untuk penayangan perdana di New York dan London. Meski demikian, Thomas Edward Lawrence mengkritik Lowell Thomas karena dinilai telah menyalahgunakan gambarannya.
Thomas Edward Lawrence menjadi terkenal setelah penerbitan memoarnya yang berjudul Tujuh Tiang Kebijaksanaan Pada tahun 1926, media dan publik mengejeknya. Dia seperti bintang terkenal di usia 30-an. Setelah menjalani masa muda yang penuh petualangan dan pengakuan, Lawrence kemudian bergabung dengan Angkatan Udara Kerajaan serta corps tank sebagai seorang prajurit menggunakan nama palsu.
4. Strategi Perang Khas Lawrence of Arabia

Di satu sisi, banyak tentara serta sesama warga Arab merasakan inspirasi dari Thomas Edward Lawrence dan melihatnya sebagai figur pejuang dengan semangat seperti seorang pahlawan. Bahkan, cerita tentang Thomas Edward Lawrence dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan untuk siswa-siswa sekolah yang sedang meniti masa depan di Inggris dan Amerika pada era 1920-an sampai 1930-an. Oleh karena itu, waktu itu ia terkenal akan ketamvanannya, kepahlawanan, dan juga kesekian kalinya kemampuannya yang luar biasa.
Sebaliknya, Thomas Edward Lawrence tak menjalani pendidikan perang sebelum ia bersatu dengan Pangeran Faisal I dalam peperangan melawan Turki Ottoman; namun demikian, dia berhasil membuktikan dirinya sebagai pakar strategi militer yang cerdik dan tegas. Di pihak lain lagi, Lawrence mengadopsi budaya Arab, meninggalkan jas tradisional Inggeris untuk berpakaian jubah serta menggunakan penutup kepala bertipe fettiyeh.
Commonweal Magazine Menurut laporan, Thomas Edward Lawrence merendahkan orang Arab dibandingkan dirinya sendiri. Di berbagai aspek, ia bisa dianggap sebagai seorang kolonis, yang percaya bahwa orang Arab pada abad ke-20 ini kurang rasional dan penduduk kota mereka tak pantas mencapai terkenal. Ia menyatakan dalam catatan autobiografisnya bahwa masyarakat Arab tidak patut dipublikasi secara luas kepada dunia.
Di samping itu, Thomas Edward Lawrence menguasai berbagai macam taktik pertempuran gerilya guna menentang kekuatan Turki yang superior. Salah satu di antaranya ialah penggunaan bom buatan sendiri atau improvised explosive devices IED serta menghancurkan infrastruktur komunikasi dengan cara yang terencana dan metodis. Strategi militer semacam itu ternyata tetap dipergunakan sampai sekarang, terutama di wilayah Timur Tengah. Ini menunjukkan bahwa Lawrence sukses mendukung pemberontakan Arab untuk memerangi kekuatan Turki Utsmaniyah menggunakan metode tempur yang cenderung baru pada masa tersebut.
5. Thomas Edward Lawrence dengan terpaksa harus menghukum seorang prajuritnya sendiri.

Di bulan Januari 1917, Thomas Edward Lawrence, yang sudah menyatu dengan masyarakat Bedouin (suatu kelompok etnis Arab yang berdomisili di gurun), menduduki posisi kepemimpinan dalam Pemberontakan Arab. Di masa tersebut, serangan-serangan mereka mencapai kesuksesan melawan tentara Kesultanan Utsmaniyah. Lawrence beserta sekitar 35 orang dari suku Bedouin senjata api berhasil mengalahkan dua prajurit Utsmaniyah dan kemudian membawanya menuju markas pemeriksaan.
Namun, Thomas Edward Lawrence dipaksa menjalankan hukuman eksekusi terhadap salah satu anggotanya sendiri demi mencegah lebih banyak korban jiwa. Peristiwa tersebut menjadi beban baginya selama sisa hayatnya. Pada saat yang sama, ia juga jatuh sakit dengan penyakit serius seperti bisul, disentri, dan malaria.
6. Lawrence dari Arab kehilangan seorang sahabat dekat

Dalam memoarnya yang berjudul Tujuh Tiang Kebijaksanaan Thomas Edward Lawrence mengagumi pria bernama Selim Ahmed, yang memiliki julukan Dahoum. Di dalam bahasa Arab, hal itu bermakna "yang kecil dan berkulit hitam." Demikian dikutip. PBS , Lawrence berjumpa dengan Dahoum ketika sedang menggelar pengeboran arkeologis di Carchemish, tempat yang kini merupakan batas antara Turki dan Suriah.
Thomas Edward Lawrence sangat tertarik pada ketangkasan pemuda tersebut. Dia lalu mendidik Dahoum dalam hal Bahasa Inggris serta ilmu Matematika. Sebagai imbalannya, Dahoum membimbing Lawrence tentang Bahasa Arab. Pasangan ini tak dapat dipisahkan selama bertahun-tahun. Bersama-sama, mereka menjalankan petualangan bersejarah dan menimbulkan spekulasi yang menyatakan hubungan keduanya melebihi batas persahabatan biasa.
Di bulan Juni 1914, Thomas Edward Lawrence pergi dari Dahoum di Carchemish dengan tujuan menjadi penyalur komunikasi antara Tentara Britania Raya dan para pejuang Arab yang sedang berlawanan dengan tentara Kesultanan Utsmaniyah. Empat tahun setelah itu, ketika Lawrence akan memulai pertempuran di Damaskus, dia mengetahui bahwa Dahoum telah wafat akibat demam tifoid selama kekurangan makanan, suatu musim kelaparan yang mengambil korban hingga ribuan jiwa pada periode 1916-1917.
Ketika seluruh peperangan usai dan Thomas Edward Lawrence pulang ke tanah airnya, yaitu Inggris, dia mengabdikan dirinya untuk sesuatu. Tujuh Tiang Kebijaksanaan Untuk "S. A.", mayoritas pakar percaya bahwa ia merujuk pada Selim Ahmed. Lawrence memulai bukunya tersebut dengan sebuah puisi yang menjelaskan motivasinya dalam menjadi tentara yaitu karena cintanya terhadap "S. A.". Dia menulis, “Kupersembahkan perjuangkan ini kepada Anda, S.A., karenaku saya mengerahkan lautan manusia menuju genggaman saya dan mengekspresikan hasratku di langit agar membawa Kemerdekaan bagi Anda.”
7. Lawrence of Arabia merasa berdosa atas pengkhianatannya terhadap sekutunya di Arab.

Sejak dini dalam pemberontakan Arab melawan Kesultanan Utsmaniyah, Thomas Edward Lawrence sudah merasakan ketidaknyamanannya mengenai hasil dari pertikaian tersebut serta pandangan sahabat-sahabatnya yang beragam saat Inggris dan Prancis mulai ikut campur. Selain itu, Lawrence juga turut hadir dalam Konferensi Damai di Paris tahun 1919 dan Konferensi Cairo pada tahun 1921; kedua acara ini bertujuan antara lain untuk membahas negosiasi kemerdekaan bagi bangsa Arab.
Lawrence merasa sangat letih dengan hasil pembicaraan itu. Seharusnya dia bisa mencapai kesepakatan damai yang detail bersama pihak Arab dalam niat tulus, tapi para petinggi senior dari Britania Raya dan Perancis justru membelah wilayah Timur Tengah untuk kepentingan masing-masing. Kritik terhadap diplomasi ini akhirnya menjadi terkenal dengan nama perjanjian Sykes-Picot.
Thomas Edward Lawrence, yang tetap ingin membantu peperangan kaum Arab, akhirnya bergabung dengan Winston Churchill di tahun 1920 guna mempengaruhi pandangannya. Akan tetapi, upayanya tidak berhasil. Di sisi lain, Churchill mengatakan bahwa konsep kesatuan Arab adalah “ideologi gila.”
Pada masa yang sama juga, seorang pria dari Skotlandia menyatakan hal tersebut ke sebuah koran. London Sunday Times bahwa Lawrence menugaskannya untuk melaksanakan praktik sadomasokisme (perilaku di mana terjadi tindakan kekerasan dengan latar belakang seksual). Apakah praktek sadomasokisme ini disebabkan oleh perasaan bersalah serta ketidakmampuan Lawrence dalam menghadapi kedaulatan Inggris dan Prancis, ataukah ini hanya merupakan suatu bentuk deviasi seksual dari dirinya sendiri? Sepertinya, masalah ini tetap menjadi teka-teki dan masih sebatas dugaan.
8. Sesudah berpartisipasi dalam pemberontakan Arab, Lawrence of Arabia nyaris tewas akibat kecelakaan pesawat.

Di bulan Mei 1919, Thomas Edward Lawrence berangkat dari Paris menuju Kairo guna mengumpulkan catatannya sehingga dia dapat menyusun memoirnya. Tujuh Tiang Kebijaksanaan Perjalanannya mengantarnya menuju Bandara Centocelle di Italia. Akan tetapi, saat belum mencapai landasan pacu, pesawat yang dikendalikan oleh Lawrence terjungkal akibat badai. Kecelakaan tersebut menyebabkan salah satu pilot tewas secara instan dan para penumpang lainnya pun ikut meninggal dunia, termasuk Letnan Frederick George Prince serta Letnant Sydney Spratt, setelah dirawat di rumah sakit.
Thomas Edward Lawrence ternyata sangat beruntung. Dia berhasil selamat namun hanya menderita beberapa fraktur pada bahu dan dua tulang rusuk yang retak. Walaupun demikian, luka pada rusuknya tetap menjadi masalah hingga akhir hayatnya. Selanjutnya, dia memberikan sejumlah 10 euro atau senilai dengan kurang lebih 184 juta rupiah kepada salah satu survivor lainnya, yakni anggota tim F.J. Daw, untuk menunjukkan rasa terimakasih atas pertolongannya dalam menyelamatkannya dari pesawat tersebut tanpa cidera parah apapun.
9. Misteri Tersembunyi dari Lawrence of Arabia

Thomas Edward Lawrence pada awalnya berprofesi sebagai ahli arkeologi, meneliti benda-benda purbakala dari peradaban Timur Tengah bagi Museum Britania. Setelah itu, dia menjadi bagian dari angkatan darat Inggris sebagai pejabat intelijen. Tanggung jawab tersebut mempertemukannya dengan tempuran, bersama para raja, pangeran, serta kelompok etnis lainnya, dalam upaya melawan kuasa Kekaisaran Utsmaniyah. Hidupnya sampai saat ini cukup luar biasa. Apalagi karakteristiknya yang sangat macho, minimal sesuai persepsi masa Victoria.
Akan tetapi, hal yang kurang dikenal oleh kebanyakan orang ialah bahwa Thomas Edward Lawrence mungkin merupakan seorang homoseksual. Di dalam memoarnya, Tujuh Tiang Kebijaksanaan , dia menceritakan secara detail tentang temannya yang bernama Selim Ahmed, yang memiliki julukan "Dahoum" atau "yang kecil dan gelap." Lawrence menyatakan bahwa dirinya sungguh bahagia ketika berada di sampingnya.
Thomas Edward Lawrence tampaknya tidak segan untuk mengungkapkannya. Dia sukses merahasiakan orientasinya yang seksual dari khalayak sampai ajal menjemputnya pada tahun 1935. Sampai saat ini, status homoseksualitasnya atau keadaan mungkin sebagai aseksual tetap menjadi topik diskusi.
10. pensiunnya Thomas Edward Lawrence dari Angkatan Udara Kerajaan British

Setelah kembali dari medan peperangan dan meraih popularitasnya, Thomas Edward Lawrence memutuskan untuk mundur dari sorotan publik. Di tahun 1922, dia bergabung dengan Angkatan Udara Kerajaan Inggris menggunakan identitas palsu bernama John Hume Ross. Sayangnya, karir militernya berjalan singkat karena hanyalah selama beberapa bulan saja sebelum akhirnya keluar. Ia pun kemudian dipanggil "Lawrence of Arabia" oleh para jurnalis. Selain itu, ada pula spekulasi yang menyebut bahwa Lawrence bisa jadi telah terlibat dalam operasi rahasia di India. Karena hal tersebut, ia harus meninggalkan anggota Royal Air Force.
Tindakan Thomas Edward Lawrence tak berhenti di situ saja. Dia bergabung dengan Korps Tank Kerajaan menggunakan nama palsu kembali. Pada kesempatan kali ini, dia menetapkan dirinya sebagai Thomas Edward Shaw, sebuah keputusan untuk mengenang dramawan asal Irlandia dan juga sahabat dekatnya yang bernama George Bernard Shaw. Sesudah itu, Lawrence digulingkan dari unit tank tersebut.
Di tahun 1925, dia kembali bergabung dengan Royal Air Force (RAF). Setahun berselang, tepatnya sepuluh tahun kemudian, dia memutuskan untuk pensiun. Ia hidup damai di sebuah rumah kecil nan sederhana di Dorset saat itu. Akan tetapi, tak sempat lama menikmati kedamaiannya, beberapa bulan usai purnawirawan, nyawa dia berakhir tragis akibat suatu kejadian kecelakaan sepeda motor yang terjadi ketika dirinya sedang melaju dengan cepat di jalanan.
11. Lawrence of Arabia tewas dalam sebuah kecelakaan sepeda motor.

Thomas Edward Lawrence sangat menyukai sepeda motor. Sebagaimana diuraikan The Telegraph , dia mengantongi 8 unit sepeda motor Brough Superior mewah dan mutakhir. Akan tetapi, suatu pagi, yaitu tanggal 13 Mei 1935, saat Lawrence berkendara dengan kecepatan tinggi di wilayah Dorset, tiba-tiba saja bertemu dengan dua anak lelaki yang tengah bersepeda.
Oleh karena itu, agar menghindari bentrokan, Thomas Edward Lawrence mencoba membelokkan sepeda motor miliknya namun masih saja menabrak salah satu anak kecil tadi. Kecelakaan ini menyebabkannya jatuh. Meski telah mendapatkan perawatan selama 6 hari penuh, sayang sekali ia tak dapat bertahan dan akhirnya meninggal dunia dikarenakan cedera parah yang dialaminya pada umur 46 tahun. Ternyata, berkat insiden fatal ini para peneliti pun mulai fokus melakukan riset berkaitan dengan pengaman kepala serta hasilnya adalah diciptakannya helm seperti yang kita ketahui saat ini.
Tahun 1935, Thomas Edward Lawrence menulis sebuah surat kepada kepala bagian public relations Angkatan Udara Kerajaan. Surat ini baru teridentifikasi belasan tahun pasca kematian Lawrence. Sejumlah ahli mendiskusikan mungkin adanya motif di balik insiden tersebut; mereka mempertanyakan apakah kejadian tragis adalah akibat kesadaran diri Lawrence sendiri atas isi suratnya. Dalam teks tertulis, ketika menghadapi proses pemberhentian dari RAF, Lawrence menyatakan harapan untuk segera meninggal dunia. Dia juga bercerita tentang penyesalan yang dialaminya karena harus mencari penghidupan alternatif. Lawrence sadar betul jika media massa bakal selalu mengawasi gerak-geriku dan hal ini dapat merugikan potensi karirnya kedepannya. Akhir kata, dia menjelaskan bahwa tak ada niat sama sekali bagi dirinya untuk hidup menuju usia lanjut.
Ironi yang sangat menyedihkan dalam segala ironi adalah bahwa harapan Thomas Edward Lawrence benar-benar terealisasi. Siapa pun tak akan menduga adanya rahasia belum terpecahkan mengenai hidupnya. Pada saat itu juga, dunia merindukan sosok ikonik tersebut. Tidak diragukan lagi, tidak ada kisah perjalanan hidup yang lebih epik dan memukau dibandingkan dengan petualangan Thomas Edward Lawrence.